FATWA MUI TENTANG KHITAN PEREMPUAN
ADALAH SOLUSI JALAN TENGAH *)
1. Latar Belakang Fatwa
Masalah khitan perempuan dibahas di MUI setelah mendapat pertanyaan dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pertanyaan tersebut muncul disertai data penyimpangan pelaksanaan khitan perempuan di berbagai Negara. Juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Population Council terhadap pelaksanaan khitan perempuan di 6 provinsi di Indonesia yang dibiayai oleh USAID dan Ford Foundation..
Bahkan terkait dengan hal itu, Departemen Kesehatan RI, cq. Dirjen Bina Kesejahteraan Masyarakat telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Khitan Perempuan bagi Petugas Kesehatan.
Di sisi lain terjadi beragam tata cara pelaksanaan khitan bagi perempuan yang tidak jarang berimplikasi terhadap adanya dlarar (bahaya) bagi perempuan. Dalam penelitian yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia pun telah terjadi keragaman praktek khitan perempuan : ada yang dengan cara menggores dan mengerik, menusuk , mencubit dan menindik insisi dan eksisi.
WHO juga telah melakukan klasifikasi praktek sunat perempuan ke dalam 4 type :
a. pemotongan ”prepuce” dengan atau mengiris/menggores bagian atau seluruh klirotis.
b. Pemotongan klirotis dengan disertai pemotongan sebagian atau seluruh labia minora.
c. Pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan/ penyempitan lubang vagina, dan
d. Tidak terklarisifasi : penusukan, pelubangan, pengirisan/penggoresan terhadap klirotis dan/atau labia, pemotongan vagina, pemasukan bahan jamu yang bersifat korosif ke dalam vagina.
Dorongan untuk pelarangan khitan perempuan semakin menguat dengan kampanye yang sistimatis dari WHO serta beberapa lembaga donor.
Sementara itu, dalam literatur fiqh tidak ditemukan satu pun ulama madzhab fiqh yang mu’tabar (terkenal) melarang praktek khitan prempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khitan perempuan adalah bentuk keutamaan. Hanya saja terdapat perbedaan hukum fiqh-nya antara sunat dan wajib. Belakangan ada beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf Qordowy yang menambah ketentuan hukum ”mubah=boleh”, merujuk pada kenetralan pengertian yang diperoleh dari kata ”makrumah” dalam Hadits Nabi ”Al Khitanu sunnatan lir rijaal makrumatun lin nisaa = Khitan merupakan sunnah (ketetapan Rasul) bagi laki-laki, dan makrumah (kemuliaan) bagi wanita (lihat konsideran Fatwa MUI No.9.A Tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, terlampir).
Untuk itu penetapan Fatwa tidak lagi seputar hukum khitan bagi perempuan. Karena secara fiqh ketentuan tersebut sudah sangat panjang lebar dijelaskan dalam berbagai literatur, baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru baru adalah adanya trend pelarangan terhadap khitan perempuan secara umum. Bahkan sudah dituangkan dalam kebijakan pemerintah, sekalipun itu hanya Surat Edaran, yang dalam tata perundangan kita tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Substansi dan Diktum Fatwa
Diktum fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan terdiri dari 4 bagian :
(1) Status Hukum khitan Perempuan
(2) Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan
(3) Batas atau Cara khitan Perempuan , dan
(4) Rekomendasi
Diktum fatwa MUI selengkapnya adalah sbb. :
Pertama : Status Hukum Khitan Perempuan :
1). Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam
2). Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan
Kedua : Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan :
Palarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah, karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam
Ketiga : Batas dan Cara Khitan Perempuan :
Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal
hal sebagai berikut :
1. Khitan perempuan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/ colum/prapaeputium) yang menutupi klirotis.
2. Khitan prempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klirotis (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dloror (bahaya dan merugikan)
Keempat : Rekomendasi :
1. Meminta kepada pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tanaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.
Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ini ingin menegaskan 2 substansi sekaligus, yaitu :
Pertama : menegaskan tindak pelarangan khitan terhadap perempuan.
Kedua : menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syare’ah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan, baik secara pisik maupun psikis.
3. Argumentasi atas Penetapan Fatwa :
Fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan ini, diawali dengan adanya penegasan bahwa khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Pelaksanaannya bagian dari ibadah.
Hal ini menjadi penting untuk ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang ”dogmatik”. Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut melahirkan hikmah positif. Meskipun secara medis tidak (lebih tepatnya belum) ditemukan manfaat terhadap pelaksanaan khitan bukan serta merta ia menjadi terlarang. Hal ini sangat berbeda dengan cara pandang medik ansich. Cara pandang yang seperti ini dipastikan akan melarang khitan jika tidak ada pertimbangan medis. Selanjutnya secara lebih ekstrim, cara pandang seperti ini akan mengabsahkan gerakan pro-integrasi genital juga melarang khitan laki-laki sebagaimana larangan terhadap khitan terhadap perempuan di Amerika Serikat. Disamping itu, fatwa ini juga mendasarkan pada keumuman ayat tentang perintah mengikuti millah Ibrahim sebagaimana dalam Al Qur’an S.Ali Imran ayat 95, An Nissa ayat 125 serta keumuman tunduk terhadap perintah Allah sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an S.Ali Imran 31 :
S.Ali Imran ayat 95 :
95. Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
S.An Nisa ayat 125 :
125. Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
S.Ali Imron ayat 31 :
31. Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam teori hukum Islam, ibadah itu ada yang berdimensin rasional (ta’aqquli/ ma’qulat al ma’na) dan ada yang dogmatik (ta’abbudi/ghairu ma’qulatal ma’na). Nah khitan sekalipun tidak/belum dapat dinalar sesuai dengan nalar medik sekalipun, ia tetap dan harus eksis sebagai identitas agama atau ibadah.
Penetapan fatwa bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan syari’ah, didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al Qur’an tersebut diatas, Sunnah dan pandangan ulama madzhab yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap perempuan (sebagaimana tersebut dalam konsideran fatwa MUI). Secara tersirat , terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai ketidakbenaran tindakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat bahwa khitan terhadap perempuan tidak haram, pun tidak makruh.
Dalil Al Qur’an yang dijadikan landasan fatwa MUI ini adalah keumuman ayat tentang keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain dalam S.An Nahl ayat 123 :
123. Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam Tafsir Al Shan’ani, As Syaukani dll disebutkan bahwa cakupan millah Ibrahim yang hanif antara lain adalah : tauhid, khitan, larangan menikah dengan ibu, anak kandung dan sudara kandung.
Dalam konteks ayat ini ada penjelasan dari hadits shaheh Bukhari Muslim, yang artinya : ”Nabi Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak”.
Fatwa MUI ini disamping mempertimbangkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut, dilengkapi juga dengan beberapa Hadits dan Fatwa Ulama, yang semuanya menegaskan adanya syare’at khitan bagi perempuan ini dan tidak ada yang melarang dengan hukum haram maupun makruh, dan tak ada satupun yang menegaskan, terlebih menganggapkan sebagai kriminal (perhatikan konsideran Fatwa MUI tersebut dalam mengingat dan memperhatikan.
4. Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan : moderasi antara dua ekstrim
Dari paparan diatas, dapat kita pahami bahwa Fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan merupakan langkah moderasi diantara dua ekstrim. Jika digambarkan secara sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan ada dua kutub yang berlawanan :
1) Pihak yang melakukan khitan terhadap perempuan dengan praktek yang secara pasti membahayakan, seperti dengan menjepit dan sejenisnya, menutup dan menjahit vagina , mengambil seluruh klirotis dan labia baik mayora maupun minora, dan praktek lain yang membahayakan, sebagaimana digambarkan terjadi di beberapa negara Afrika Utara.
2) Pihak yang melarang seluruh praktek khitan perempuan, dengan alasan sebagai bentuk kekerasan, mutilasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak tulisan yang bernada sangat provokatif dan memaksakan opini bahwa khitan perempuan adalah tindakan kriminal yang harus diberangus. Bahkan tanpa disadari juga dilakukan oleh beberapa dokter serta petugas medis sendiri. Lebih ironis lagi Surat Edaran Dirjen Bina kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan yang ditandatangani oleh Sri Astuti Suparmanto pada tanggal 20 April 2006, juga mengklaim bahwa sunat perempuan sebagai penyebab perusakan alat kelamin perempuan , tanpa ada penjelasan mengenai khitan yang seperti apa yang masuk kategori merusak itu.
Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrim tsb., karena keduanya, secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan normatif yang dikembangkan Islam.
Kepada pihak yang menyatakan pelarangan mutlak terhadap khitan perempuan secara agama jelas bertentangan, sebagaimana tersebut dalam diktum kedua Fatwa tersebut di muka.
Namun demikian fatwa MUI tidak menutup mata terhadap fakta adanya berbagai praktek khitan perempuan yang menimbulkan bahaya. Untuk itu untuk mengindari adanya bahaya akibat penyimpangan terhadap praktek khitan perempuan, Fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan sesuai dengan ketentuan syari’ah, sebagaimana tersebut dalam diktum ketiga fatwa MUI di muka.
Penentuan batasan atau tatacara khitan tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan Nabi SAW yang menekankan 3 prinsip, yaitu :
a. Sedikit saja
b. Tidak berlebihan, dan
c. Tidak menimbulkan bahaya
Dalam keterangan dalam Haditsnya (secara rinci ada dalam konsideran fatwa), Rasulullah SAW hanya memperbolehkan pemotongan itu dilakukan dengan syarat tidak berlebihan, sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual dan dampak psikis lainnya. Dalam elaborasi lebih lanjut, para ulama memberikan penjelasan lebih detail, yang intinya tersebut dalam konsideran Fatwa pada ”memperhatikan”.
Di samping itu, penetapan batas atau tatacara khitan ini juga merujuk pada pendapat beberapa ahli kedokteran, diantaranya kesimpulan dalam presentasi Prof.Dr.Jurnalis Uddin (Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta) yang menegaskan bahwa khitan pada laki-laki hanya memotong preputium penis, mestinya yang dilakukan pada khitan perempuan adalah juga memotong preputium klirotis saja. Dengan demikian khitan terhadap perempuan secara umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja karena secara anatomis antara keduanya berbeda, maka tatacaranya juga berbeda. Khitan lelaki dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah), sedang pada perempuan dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi klirotis (bizhr).
Fakta terhadap adanya berbagai dampak negatif yang ditemukan, lebih sebagai akibat dari penyimpangan dari ptaktek khitan perempuan tersebut. Untuk itu sebagai tindak lanjut dari langkah moderat dalam penyikapan terhadap masalah khitan perempuan, fatwa MUI diakhiri dengan dua point rekomendasi, sebagaimana tersebut dalam diktum keempat tersebut di muka. Kedua rekomendasi tersebut diberikan mengingat masalah khitan perempuan sebagai sebuah bentuk ibadah (yang dijamin oleh pasal 29 UUD 1945), dalam diskursus hukum Islam termasuk dalam masalah Fiqh Ijtima’i (yang punya dimensi sosial), sehingga membutuhkan intervensi dari pemegang kebijakan publik cq.Pemerintah up.Departemen Kesehatan. Namun mandat tersebut diberikan untuk kepentingan pemberian petunjuk pelaksanaan, fasilitasi, dan desminasi kebijakan mengenai tata cara khitan yang sejalan dengan ketentuan syari’ah sekaligus standar medik. Sedang langkah pelarangan khitan terhadap perempuan merupakan tindakan melampaui mandat tersebut.
5. Permenkes No. No.1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan
Sebenarnya dalam persepektif hukum Islam, penegasan mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan oleh MUI, hampir seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang sama terkait dengan masalah ini. Bahkan NU dalam muktamarnya ke 32 di Makasar pada tahun 2010 menegaskan bahwa khitan perempuan menurut Imam Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki. Muktamar juga menegaskan bahwa pendapat yang melarang khitan perempuan sebenarnya tidak memiliki dalil syar’i.
Atas dasar realitas inilah kemudian Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan review atas SE yang bermasalah tersebut, baik dari segi struktur keredaksian maupun konten. Dan anehnya SE inilah yang kemudian dijadikan bahan kampanye kelompok yang mendakwakan larangan sunat perempuan.
Dalam review tersebut seluruh pemangku kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengevaluasi dan memberikan masukan terkait dengan terbitnya SE yang bermasalah itu. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli dan sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI dan juga dari kalangan akademisi. Atas prakarsa Dirjen, pertemuan terus diintensifkan untuk melakukan koreksi dan revisi SE yang bias budaya ini, dan lebih dari itu meregulasi praktek pelaksanaan sunat Perempuan.
Masalah yang selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya SOP (Standar Operating Procedure) dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga terjadi penyimpangan yang membahayakan. Atas dasar inilah, maka Menteri kesehatan menerbitakan Peraturan Menteri kesehatan No. 1636/MEN-KES/ PER/XI/2010, dalam psl 4 telah mengatur mengenai syarat dan prosedur pelaksanaan sunat perempuan :
(1).Pelaksanaan Sunat Perempuan dilakukan dengan persyaratan :
a. diruangan yang bersih
b. tempat tidur/meja tindakan yang bersih
c. alat yang steril
d. pencahayaan yang cukup
e. ada air bersih yang mengalir
(2).Pelaksanaan sunat perempuan dengan prosedur tindakan sebagai berikut :
a. cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 (sepuluh) menit
b. gunakan sarung tangan steril
c. pasien berbaring telentang, kaki direntangkan secara hati-hati
d. fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan
e. cuci vulva dengan povidon iodin 10 %, menggunakan kain kasa
f. bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klirotis dan glan klirotis sampai bersih
g. lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klirotis (frenulum klirotis) dengan menggunakan ujung jarumsteril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klirotis
h. cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodin 10 %
i. lepas sarung tangan, dan
j. cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir
Billahit Taufieq Wal Hidayah
Yogyakarta, 13 Agustus 2011
———————-
*) Disusun dan disampaikan oleh KRT.Drs.H.Ahmad Muhsin Kamaludingrat, Sekretaris Umum MUI DIY dalam seminar tentang ”Kajian Sunat Perempuan” yang diselenggaran oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta pada tanggal 13 Agustus 2011 bertempat di Ruang Paripurna DPRD Kota Yogyakarta.