Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah bertepatan tanggal 26 Juli 1975 Miladiyah adalah rahmat Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang patut disyukuri. Majelis Ulama Indonesia hadir ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan, energi bangsa terserap dalam perjuangan politik baik di dalam negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju, dan berakhlak mulia.
Ulama Indonesia menyadari dirinya sebagai ahli waris tugas-tugas para Nabi (warotsatl anbiyaai) pembawa risalah Ilaahiyah dan pelanjut missi yang diemban Rasulullah Muhammad SAW. Mereka terpanggil bersama-sama zu’amma dan cendekiawan muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan pada perjuangan kemerdekaan yang telah mereka berikan pada masa penjajahan, serta berperan aktif dalam membangun masyarakat dan mensukseskan pembangunan melalui berbagai potensi yang mereka miliki dalam wadah Majelis Ulama Indonesia. Ikhtiyar-ikhtiyar kebajikan yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia senantiasa ditujukan bagi kemajuan agama, bangsa dan negara baik pada masa lalu, kini dan mendatang.
Para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim menyadari bahwa negara Indonesia memerlukan Islam sebagai landasan bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan organisasi para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah suatu konsekuensi logis dan prasyarat bagi berkembangannya hubungan yang harmonis antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.
Karena umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki peran dan tanggungjawab terbesar pula bagi kemajuan dan kejayaan Indonesia di masa depan. Namun adalah suatu hal yang tidak boleh dinafikan bahwa umat Islam masih menghadapi masalah internal dalam berbagai aspek, baik sosial, pendidikan, kesehatan, kependudukan, ekonomi, dan politik.
Disisi lain, saat ini umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Tantangan tersebut antara lain berupa idealogi liberalisme kapitalisme yang berpangkal pada sekularisme engan sitem politik dan sistem ekonomi yang sering dipaksakan berlaku di negeri-negeri lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat dan bercirikan pendewaan diri, kebendaan, dan nafsu syahawatiyah yang potensial melunturkan aspek religiusitas masyarakat, serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Lebih daripada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi juga sering menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Sebagai akibatnya, umat Islam terjebak ke dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan dan kehilangan peluang untuk mengembangkan diri menjadi kelompok yang tidak hanya besar dalam jumlah, tetapi juga unggul dalam kualitas. Oleh karena itu, adanya kepemimpinan umat Islam yang kolektif merupakan kewajiban (wajib al-imamah), seperti adanya suatu organisasi yang menjadi wadah silaturrahmi, merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi persatuan, kasatuan, dan kebersamaan umat Islam.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan kebangsaan para era reformasi dewasa ini, yang ditandai dengan adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru yang adil, sejahtera, demokratis, dan beradab, maka adalah suatu keharusan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk meneguhkan jati diri dan iktikad dengan suatu wawasan untuk menghela proses perwujudan paradaban Islam di dunia, dan khususnya perwujudan masyarakat Indonesia baru, yang tidak lain adalah masyarakat madani (khair al ummah) yang menekankan nilai-nilai persaman (al musawah), keadilan (al-adalah) dan demokratis (al syura).